Wednesday, December 26, 2007

Perahu Layar "Teh Botol" Ala Jakarta


Saya teringat sekitar sembilan tahun lalu, setiap akhir pekan hampir selalu saya, istri dan anak pertama saya ke Ancol untuk mencari udara laut yang segar bagi anak saya yang saat itu asmatis.

Kami menikmati sekali setiap saat yang dihabiskan disana. Biasanya kami mulai kegiatan dengan bersepeda dan melakukan permainan lainnya di pinggir pantai. Setelah itu kami menyewa kapal layar "teh botol" untuk short cruise (sekitar 30 menit sampai satu jam).

Kapal layar itu kami namakan demikian karena layarnya terbuat dari kain potongan spanduk (atau khusus dibuat dengan sponsor?) teh botol dan juga beberapa perusahaan lain. Berbeda dengan layar modern yang menggunakan bahan sintetis seperti polyester, tetoron, polyethelene sampai dengan kevlar, layar ini dibuat dari katun sebagaimana layar yang digunakan pada abad 19. Bahan ini memang jauh lebih murah (kalau bekas spanduk pasti gratis lah) dibandingkan dengan bahan jenis yang lebih moderen. Mungkin karena murahnya, bahan ini juga datang dengan banyak kelemahan. Katun memiliki daya tahan terhadap tekanan yang rendah, tidak tahan air dan tidak tahan sinar UV. Hal itu menjadikan fungsi layar "teh botol" ini menjadi sekedar alat bantu dan bukan sebagai penggerak utama.

Sebagaimana umumnya layar perahu nelayan kecil di Indonesia, perahu layar "teh botol" ini mengunakan layar yang mirip-mirip dengan jenis layar "lateen" atau "latin". Nama tersebut berasal dari anggapan bahwa jenis layar ini berasal dari jaman Romawi. Anggapan tersebut bukan tanpa bantahan. David Howarth dalam bukunya Dhows, Quarter Books, 1977 menyatakan bahwa jenis layar tersebut tidak pernah dikenal dalam masa Romawi ataupun Yunani kuno. Namun jenis layar tersebut telah banyak digunakan di negara-negara Arab sejak masa setelah Nabi Muhammad.

Tentu saja karena kecilnya kapal ini, kami naik dengan penuh kesadaran bahwa perjalanan akan cukup bergoyang dan basah. Tapi justru disitulah serunya!

Jakarta Bay Cruise
biasanya menjadi penutup acara akhir pekan kami di Ancol. Terus terang acara yang paling nikmati dari kunjungan rutin itu adalah kesempatan naik kapal "teh botol" yang lumayan murah dan jelas meriah! Kalau Anda belum pernah mencoba, saya sangat menyarankan anda untuk mencobanya.

Memang short cruise dengan kapal teh botol ini tidak bisa dibandingan dengan cruise dengan kapal layar yang lebih besar seperti Phinisi. Dari segi kenyamanan dan jarak tempuh, kapal phinisi jelas lebih unggul dari kapal teh botol. Namun demikian, perjalanan dengan kapal berlayar jenis schooner ini hanya bisa dilakukan dengan persiapan sebelumnya. Disamping itu, karena persiapan yang sedikit ruwet, wkatu yang dihabiskan untuk berlayar tentu saja harus lebih lama. Sehingga anda tidak bisa datang seenaknya dan langsung lompat ke dalam perahu, begitu selesai bernegosiasi tentang harga sewa dengan kapten kapal, sebagaimana yang bisa anda lakukan dengan kapal teh botol.

***

Tuesday, December 25, 2007

Cukup Ngeluh! Ayo Ajak Orang Jakarta Kelaut

Dalam suatu diskusi ringan tentang kegiatan layar sambil makan siang dengan seroang teman, kita ngebahas tentang industri pleasure boat atau kapal pesiar di Jakarta. Diakhir makan siang, saya dan teman itu sama-sama sepakat bahwa industri ini sama sekali tidak berkembang, bahkan bisa dibilang keberadaannya negligible. Yang menarik, kesimpulan saya dan teman itu tentang penyebab keadaan itu adalah minimnya (atau tidak adanya) peran pemerintah. Gampang kan....

Selepas diskusi, terus terang saya merasa tidak puas dengan kesimpulan yang turut saya ambil sendiri. Cape' rasanya saya mendengar keluhan saya sendiri dan banyak orang lain tentang kebijakan maritim Indonesia secara umum. Pokoknya setiap bicara tentang hal yang berhubungan dengan laut, nyambungnya ke keluhan tentang betapa buruknya kebijakan pemerintah dibidang ini.

Mau awal mula pembicaraan tentang hobi seperti mancing, scuba diving dan sailing ataupun udah yang cukup serius karena menyangkut periuk nasi orang kecil maupun besar seperti kebijakan perikanan, perkapalan, turisme dan lain sebagainya. Selalu balik-balik ke kesimpulan "memang pemerintah seharusnya lebih memperhatikan lagi industri maritim. Kalau tidak maka kita akan semakin ketinggalan dengan tetangga kita Malaysia, Thailand dan bahkan Vietnam"

Harus diakui memang pemerintah kita sangat dodol dalam bidang yang satu ini (seperti juga banyak bidang-bidang lain). Salah satu contoh adalah sikap pemerintah tentang industri kapal pesiar dalam negeri itu (industri ini penting sekali karena kelaut harus pakai kapal kan.. jadi apapun kegiatannya dilaut, harus ada dukungan penuh dari insuytri kapal yang kuat).

Saat ini, setahu saya tidak ada upaya yang berarti apapun dari pemerintah untuk membuat industri ini tumbuh sehat. Tidak ada insentif pajak, tidak ada dukungan sarana dan prasarana serta tidak ada kontrol atas kualitas untuk menjamin tingkat keselamatan. Akhirnya yang ada, pasar didominasi oleh industri rumahan yang menomorsekiankan faktor keselamatan, kerapihan dan konsistensi produk demi memenangkan persaingan. Gampangnya, coba anda pergi ke Marina Pantai Mutiara atau Ancol, bandingkan antara kapal buatan lokal dan luar negeri. Jauh betul bedanya.....

Memang enak kalau kita lantas mengarahkan salah ke Pemerintah. Karena dengan begitu seakan-akan kita telah menemukan jawaban dan oleh karena itu tidak perlu lagi berpikir mencari solusi

Saya melihat industri kapal pesiar di Indonesia (khususnya Jakarta) tidak tumbuh karena memang pasarnya tidak cukup besar. Aneh kan? Jakarta yang kota dengan wilayah pesisir yang lumayan tidak memiliki pasar untuk kapal rekreasi yang cukup besar. Padahal teluk Jakarta dan kepulauan seribu seharusnya cukup untuk memikat warga Jakarta untuk keluar dari kota Jakarta yang sumpek itu. Tapi sampai sekarang orang tidak (atau belum) melihat itu sebagai alternatif kegiatan.

Mungkin penyebab utamanya adalah fakta bahwa orang Jakarta umumnya lebih cinta daratan. Dugaan saya ini adalah pengaruh latar belakang bangsa Indonesia pada umumnya yang petani (termasuk orang Bugis yang menurut anggapan umum adalah pelaut ulung, ternyata baru mulai mengembangkan kegiatan maritim pada abad 18 dan pinisi itu baru ditemukan pada ujung abad 19--Christian Pelras, Manusia Bugis, Penerbit Nalar 2006).

Hal ini saya buktikan sendiri. Susah betul mengajak teman ataupun saudara untuk berlayar. Apakah itu untuk perjalanan jauh atau sekedar menikmati keindahan teluk Jakarta pada akhir pekan (walaupun airnya kadang-kadang coklat kadang-kadang hitam serta campur sampah, teluk jakarta masih meyimpan keindahan lho). Banyak sekali alasan penolakan yang saya terima. Dari alasan yang cukup langsung seperti "males ah", "takut item....." sampai alasan teknis mengutip rilis BMG ke media masa tentang pasang yang lebih tinggi dari biasanya (walaupun alasan ini tidak selalu memiliki dampak munculnya gelombang yang berbahaya di teluk Jakarta).

Bukan bermaksud menggampangkan masalah pelik. Tapi saya melihat kecilnya pasar lokal memang menjadi salah satu penyebab utama. Khususnya karena sampai saat ini galangan kapal pesiar yang ada masih didominasi oleh industri rumahan yang membangun kapal tidak dengan standar-standar yang diakui secara internasional. Oleh karena itu, industri tidak dapat menjadikan pasar luar negeri (yang sangat besar dan terus tumbuh) menjadi motor pertumbuhan.

Lantas bagaimana agar pasar lokal bisa tumbuh tanpa harus mengharapkan keterlibatan pemerintah? Cara yang paling dekat dengan kita masing-masing dan dapat kita upayakan
adalah dengan mengajak teman dan saudara kita untuk melaut!

Saya yakin kalau kita berhasil mengajak teman dan saudara untuk mengeksplor potensi wisata laut di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, lambat laun industri itu akan tumbuh. Selanjutnya dengan membesarnya pasar, saya yakin mekanisme pasar akan dengan sendirinya membentuk industri. Walaupun demikian, apabila pemerintah tetap dapat berperan dalam proses tersebut, tentu saja hasil yang akan dicapai akan lebih optimal.

***