Wednesday, October 8, 2008

Beli Kapal Motor Tua, Mesin Tua-Aduh!


Kapal pertama yang saya beli adalah motor boat. Ini adalah awal dari cinta saya dengan laut yang akhirnya berlangsung sampai sekarang. Kapal yang saya beli adalah kapal fiberglass buatan salah satu galangan lokal akhir 80-an. Betul itu adalah kapal tua dengan dua mesin dalam diesel yang tentunya juga sudah tua.

Saya dengan modal pas-pasan itu betul-betul tidak mengerti masalah apa yang akan saya hadapi. Ternyata kapal tua dengan mesin tua katanya jauh lebih demanding dari istri yang sudah tua. Walaupun istri saya masih muda dan sangat menyayangi saya, saya bisa mengerti maksud teman itu. Sejak awal dibeli tidak pernah berhenti si kapal itu menuntut perawatan.
Masalah pokoknya jelas dan simple, mesin itu sudah tua!

Ketika saya merasa sudah cukup dengan mesin tua itu dan bermaksud mengganti dua mesin itu dengan yang baru, saya tersedak mendengar harga mesin diesel marine buatan Eropa baru. Harga satu mesin baru saja sudah sama dengan harga kapal waktu saya beli. Jadi jelas itu bukan opsi yang baik. Untuk mengganti mesin dengan mesin truck yang dimarinized, saya tidak tega karena kapal fiber saya itu bakal tidak bisa planning. Sering saya memaki diri sendiri, modal cekak gayanya selangit!

Ada teman kemudian memberi ide. Mesin dalam diesel yang memang di Jakarta dikenal rewel diganti saja dengan mesin tempel bensin yang dikenal lebih bandel. Itu memang ide yang bagus.
Akan tetapi mengganti mesin dalam dengan tempel, saya harus melakukan modifikasi body sehingga bagian belakang kapal lebih panjang dan bisa dipasang mesin tempel. Untuk itu saja biaya yang paling kurang seratus juta harus keluar. Untuk mesinnya sendiri, diperlukan yang memiliki power cukup sehingga paling tidak harus diatas 200pk x2.

Dengan harga bensin yang sudah mulai naik waktu itu dan kalau sayang lingkungan hidup maka bagusnya ambil mesin yang 4 tak sehingga bensin lebih irit dan lebih environmentally friendly. Itu sendiri artinya harus keluar uang paling kurang tiga ratus juta.

Akhirnya yang terjadi adalah mesin baru tidak bisa beli, mesin lama rusak dan tidak mau saya perbaiki karena saya tahu perbaikan tidak akan pernah berhenti. Akhirnya kapal nongkrong dan saya menjadi absen kelaut selama berbulan-bulan.

Dari pengalaman itu pelajaran yang bisa saya ambil adalah:

1. Jangan membeli kapal dengan mesin inboard atau outboard yang sudah tua dan sudah di oprek2. Karena pasti kondisi mesin itu tidak reliable. Perlu dicatat bahwa hampir semua kapal di Jakarta tidak langsung ditangani oleh pemilik. Kapal-kapal tersebut di urus oleh “kapten” kapalnya yang umumnya bekerja secara full time. Akan tetapi karena pemilik merasa bahwa kapten ini jarang dipakai kelaut maka banyak yang underpaid. Karena itu banyak (catat: tidak semua) yang mencari kegiatan dan uang tambahan dengan mengkanibal mesinnya dengan menjual parts yang bagus (mengganti dengan yang rusak. Kemudian dia melapor kepada bossnya bahwa bagian mesin itu rusak dan menjadikan penggantian sebagai proyek. Sayangnya proyek penggantian dengan budget spare parts baru itu tidak dilaksanakan dengan baik karena spare part yang dibeli adalah parts bekas.

2. Mesin outboard lebih reliable dan perawatan lebih mudah dan murah. Kalau budget anda agak lega, beli mesin 4 tak karena lebih ramah lingkungan, irit dan tidak berisik.

3. Kalau anda menginginkan mesin diesel akan tetapi budget anda tidak terlalu besar, lebih baik menggunakan mesin diesel non marin yang dimarinized. Mesin ini tidak dapat memberikan speed yang sama dengan mesin marine akan tetapi spare part jauh lebih mudah dan murah. Saya harus menunggu rata-rata satu bulan untuk memperoleh spare part mesin marine buatan Eropa dengan harga yang mencekek leher.

4. Karena kegiatan dilaut adalah rekreasi yang tidak setiap hari anda lakukan, maka penting untuk memiliki mesin yang sehat, reliable dan handal. Percayalah, rasa khawatir bahwa mesin anda akan ngambek di tengah laut menghilangkan sebagian besar rasa senang anda berada di laut.

Tuesday, October 7, 2008

Akhirnya Ada Sekolah Layar di Jakarta!

Tiga tahun lalu saya setengah mati keliling pesisir Jakarta untuk cari perahu layar yang bisa disewa supaya saya bisa mulai belajar layar. Pencarian dimulai dari Pangkalan TNI AL di Pondok Dayung Tj Priok dan berakhir di Pantai Mutiara Pluit.

Walapun akhirnya saya menemukan sekumpulan kapal layar, tidak ada yang menawarkan program belajar layar. Namun atas jasa baik penjaga marina tersebut, saya dikenalkan dengan pemilik salah satu kapal layar yang pekerjaannya membuat trip ke puau Seribu, Krakatau etc.

Dari situ saya juga mengetahui bahwa ada yang namanya Jakarta Offshore Sailing Club yang mengadakan acara race secara rutin. Mereka juga membuka kesempatan bagi non anggota untuk partisipasi dalam race dengan menjadi crew. Mengikuti race memang bisa jadi sarana belajar yang menarik, akan tetapi sebagai pemula mungkin agak grogi untuk langsung ikut balapan.

Untungnya sekitar satu bulan lalu hadir sekolah layar di Jakarta Longitude 106 East (namanya diambil dari dari posisinbujur timur Jakarta) yang menawarkan pelajaran layar untuk pemula dan yang sudah punya sedikit pegalaman baik dengan menggunakan dinghy (perahu kecil) yang diadakan di ISCI Lebak Bulus maupun keel boat (kapal layar dengan panjang mulai dari 7 meter) yang diadakan di marina Pantai Mutiara.

Kabarnya Longitude 106 ini menawarkan pelajaran dengan sertifikasi International Sailing School Asscoaiation dan American Sailing Association. Ini mungkin menjadikan Longitude 106 menjadi satu-satunya sekolah layar paling serius di Indonesia.

Selamat datang Longitude 106 semoga bisa membuat olah raga layar di Jakarta menjadi lebih meriah

UPDATE Desember 2010

Akhirnya Sekolah Layar Itu Membeku

Ada kabar kurang menyenangkan. berdasarkan informasi dasar pihak yang cukup bisa di percaya, kegiatan sekolah layar Longitude 106 saat ini dibekukan oleh pemilik. Yang saya dengar sebab pembekuan adalah jebolnya tanggul di Situ Gintung tahun lalu yang menyebabkan lenyapnya air di danau Gintung yang menjadi base dari kegiatan sekolah layar tersebut untuk kelas dinghy. Sementara itu peyelenggaraan sekolah untuk kelas keelboat terhambat oleh tindakan bea cukai menyegel kapal layar yang digunakan untuk pelajaran keelboat tersebut.

Sungguh ini merupakan set back kegiatan layar di Indonesia dan kita hanya bisa berharap agar ada pihak lain yang mau memulai kegiatan serupa dan masalah-masalah diatas yang dihadapi oleh Longitude 106 dapat terselesaikan sehingga dapat beroperasi kembali.

Selamat tinggal Longitude 106 until we hope to see you again soon!