Monday, November 28, 2011

Yacht Asing, Bea Cukai dan Belantara Hukum Indonesia


Akibat penahanan kapten kapal kecil non komersial oleh Polisi Air karena daluwarsa Surat Persetujuan Berlayar kapalnya, saya jadi buka-buka Undang-undang Pelayaran dan ketentuan lain yang relevan. 

Undang-undang Pelayaran nampaknya dibuat sebagai supermarket untuk segala yang berbau laut, pelabuhan dan kapal.  Dari mulai aspek usaha perkapalan yang terfokus pada usaha angkutan barang dan orang, pendaftaran dan penjaminan kapal, urusan kewenangan atur pelabuhan, keselamatan, navigasi dan lain-lain. Semua ketentuan yang ada dipaket dengan sanksi administratif dan sanksi pidana yang serius. 

Setelah menghabiskan satu harian membolak-balik UU Pelayaran,  saya hanya melihat sedikit sekali referensi ketentuan yang khusus tentang kapal kecil non komersial.

Untuk mempermudah diskusi, kita sepakati dulu definisi kapal kecil non-komersial itu apa.
Karena UU pelayaran mengggunakan Gross Tonnage sebagai dasar pembeda, maka anggap saja kapal kecil itu dibawah 25GT.  

Sebagai gambaran, kapal mancing atau layar fiberglass umumnya berukuran 10 sampai dengan 15 meter memiliki berat kurang dari 17GT dan kapal tersebut tidak digunakan untuk mengangkut barang ataupun penumpang umum.

Kapal dengan klasifikasi dibawah 25 GT disebut khusus dalam UU Pelayaran dalam beberapa hal;

1.     Pasal 62 yang bicara mengenai kewajiban Nakhoda kapal dibawah 35GT  untuk bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal & pelayar, namun tidak punya kewenangan penegakan hukum.
2.     Pasal 155 yang mewajibkan semua kapal baru yang dibuat di Indonesia untuk diukur oleh pejabat berwenang. Untuk yang diatas 7GT wajib diterbitkan surat ukur.
3.     Pasal 158  yang menegaskan bahwa hanya kapal berbendera Indonesia dengan GT diatas 7 yang bisa didaftar dalam buku kapal yang dipegang oleh  pejabat berwenang dan diberikan akta pendaftaran kapal. Ini hubungannya ke proses pengalihan kepemilikan dan penjaminan kapal;
4.   Pasal 163 membedakan jenis pendafataran kapal berbendera Indonesia. Untuk ukuran 7GT sampai dengan  175GT diberikan pas besar dan dibawah 7GT diberikan pas kecil.
5.     Pasal 126 yang mewajibkan adanya sertifikat keselamatan khusus untuk kapal ukuran 7GT keatas.

Selain hal tersebut diatas, Undang-undang dengan 355 pasal ini tidak membahas kapal kecil non-komersial secara khusus. Karena tidak ada perlakuan khusus, maka dapat diasumsikan seluruh kewajiban yang berlaku pada kapal besar dan super besar berlaku juga untuk kapal kecil. 
Yang menarik dari UU Pelayaran adalah ketentuan yang relevan dengan kunjungan  kapal non-komersial atau yacht asing  yang  selama ini memancing kontroversi, khususnya menyangkut aspek kepabeanan.

UU Pelayaran menyebutkan secara jelas bahwa kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia tunduk pada yurisdiksi Undang-undang tersebut.  Tidak ada larangan bagi kapal asing untuk berkunjung ke Indonesia. Juga tidak ada ketentuan menyangkut keharusan untuk memperlakukannya sebagai impor sementara (Pasal 9 UU Kepabeanan) sebagaimana diklaim oleh pihak bea cukai sebagai kewajiban hukum kapal asing yang berkunjung.

Pasal 166 UU Pelayaran mewajibkan setiap kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia harus menunjukkan identitasnya. Selama berada di pelabuhan dan akan bertolak dari pelabuhan wajib mengibarkan bendera merah putih. Jelas  itu berarti UU Pelayaran sama sekali tidak melarang masuknya kapal asing ke perairan Indonesia dan untuk bersandar di Pelabuhan Indonesia. Bahkan Pasal 194  menyatakan secara jelas  bahwa kapal asing dapat berlayar dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Dengan tidak adanya pembedaan kapal kecil versus kapal besar dan kapal pribadi versus kapal angkutan, maka seharusnya kapal asing non komersial diperlakukan sama dengan kapal-kapal besar komersial yang  tidak tunduk pada UU Kepabeanan kecuali menyangkut barang yang dibawa dan hendak diperdagangkan atau ditinggal di Indonesia. 

Lalu mengapa seluruh aparat pemerintah seakan-akan tunduk pada aparat bea cukai yang secara semena-mena menetapkan bahwa kapal asing nn komersial yang berkunjung ke Indonesia dianggap melakukan impor kapal yang mereka pakai berkunjung?  Padahal hal tersebut jelas  tunduk pada UU Pelayaran.

Disebabkan oleh blunder kegiatan yacht rally  beberapa tahun lalu, sejak 2009 setiap kegiatan yacht rally pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden seperti Sail Wakatobi tahun ini dan Sail Banda tahun 2009 dan 2010 lalu. 

Berdasarkan Kepres  tersebut diatas, hampir seluruh pejabat tinggi sipil dan militer Republik Indonesia menjadi panitia, tentu saja termasuk dirjen bea cukai. Karena Pak Dirjen juga jadi Panitia maka beliau dengan sigap mengeluarkan edaran mengenai proses impor sementara yacht tersebut yang dipermudah melalui Surat Edaran kepada seluruh kantor bea cukai. 
Hal ini membuat daerah lain yang ingin mengundang rombongan yacht jadi iri dan meminta Presiden keluarkan Kepres juga.

Kenapa pemerintah mau membodohi diri sendiri dan mempersulit diri dengan alasan yang jelas-jelas ngawur? kenapa pemerintah mau bikin repot seluruh jajaran pemerintah pusat untuk sekedar kegiatan yacht rally? Mau berapa Kepres dikeluarkan untuk memenuhi aspirasi daerah-dareah yang ingin buat kegiatan sejenis? bagaimana dengan daerah yang tidak kebagian Kepres? Kasian kan.    
 
Orang diseluruh dunia sudah mengetahui keindahan Indonesia dan ingin sekali berkunjung.  Tapi yang mereka tahu Indonesia tidak terlalu menerima kunjungan wisata mereka dengan tangan terbuka. Ini contoh informasi tentang kondisi buruk tersebut dari website referensi para pelancong dengan yacht www.noonsite.com.

Kalau memang pemerintah mau serius menerima kunjungan yacht dari mancanegara mengapa tidak perbaiki kondisi ini? Sebenarnya perbaikannya juga tidak sulit dan bisa cepat. Tidak perlu ubah UU Kepabeanan atau UU Pelayaran. Cukup kembali pada rel pemahaman yang tepat.  Jelas UU Kepabeanan tidak berlaku terhadap kapal asing yang melintas di perairan Indonesia, karena hal tersebut masih dalam cakupan UU Pelayaran. 

Untuk memperbaiki pengertian yang salah ini  Menteri Perhubungan perlu segera membuat peraturan pelaksanaan tentang bagaimana mekanisme kunjungan dan pelaporan oleh kapal asing non-komersial yang melintas di Indonesia.

Setelah itu perlu dipertimbangkan pula untuk membuat  kesepakatan dengan bea cukai bahwa dalam hal kapal asing non-komersial tunduk pada ketentuan pelaporan dan mungkin termasuk jangka waktu, sepanjang menyangkut kapal mereka, hal itu diluar UU Kepabeanan. Apabila ada kapal yang menyimpang, maka barulah masuk kewenangan Bea Cukai. 

Mudah-mudahan Pemerintah dapat segera mengambil langkah rasional untuk mengakhiri  keruwetan yang tidak perlu ini. 

***

Saturday, November 26, 2011

Penjara Minimal 5 Tahun Bagi Anda Semua Yang Berlayar Tanpa Ijin!

Kalau anda membaca blog ini pasti anda gemar atau paling tidak ingin  melaut. Kalau benar, simak tulisan ini baik-baik. Karena kemerdekaan diri anda jadi taruhan.

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar bahwa seorang yang sedang melaut dengan kapal kecil (dibawah 7GT) ditangkap Polisi Air. Dia diproses pidana karena Surat Persetujuan Berlayar yang dibawanya dikeluarkan lebih dari 24 jam sebelum berlayar.

Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau dikenal juga dengan Port Clearence ini adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Syahbandar setiap kapal akan keluar dari pelabuhan. Kewajiban mendapatkan SPB ini ditetapkan dalam Undang-Undang Pelayaran (UU 17 2008).

Saya yakin kita semua tidak akan memperdebatkan  mengapa SPB diperlukan bahkan diwajibkan. Kegiatan laut bukanlah kegiatan tanpa risiko. Dengan kewajiban memperoleh SPB tiap kali berlayar, Syahbandar dapat memonitor keberangkatan dan kepulangan kapal tersebut sehingga keterlambatan kepulangan dapat menjadi early warning bagi keselamatan kapal yang bersangkutan.

Dengan SPB, kelaiklautan kapal dapat selalu di pantau oleh Syahbandar apalagi apabila menyangkut kapal penumpang. Sehingga jelas terlepas dari pertanyaan  apakah Syahbandar melaksanakan tugasnya dalam memperhatikan aspek keselamatan,  keberadaan SPB penting untuk pemantauan aspek keselamatan nakhoda dan penumpang.

Nah sekarang apa konsekuensi hukum bagi orang yang berlayar tanpa SPB ini? 

UU Pelayaran yang penuh dengan sanksi pidana itu secara gebyah uyah atau indiscriminately  memberikan sanksi pidana bagi nakhoda yang berlayar tanpa SPB atau yang SPBnya sudah berumur lebih dari 24 jam dari waktu dia berlayar.

Untuk jelasnya  berikut saya kutip ketentuan pasal 323 UU Pelayaran:


"Pasal 323
  1. (1)  Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 

  2. (2)  Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). "

Jadi apakah anda Nakhoda kapal penumpang dengan 1000 penumpang atau Nakhoda ultra large crude carrier dengan GT550.000 atau Nakhoda kapal longboat dengan GT kurang dari 1, semua punya risiko pidana yang sama. Sounds fair? Menurut saya tidak. Bagaimana menurut anda?

Kita setuju bahwa ketentuan SPB penting demi keselamatan kita semua. Namun ketentuan itu harus diletakkkan dalam porsi yang pas. Untuk seluruh kapal yang digunakan untuk angkutan umum atau menyangkut keselamatan lingkungan orang banyak, jelas pelanggar persyaratan SPB ini harus dihukum cukup berat agar orang tidak menganggap enteng. Namun untuk nakhoda yang tidak mengangkut penumpang umum serta kapal berukuran kecil, jelas ini terlalu berat.

Bagi kapal kecil non-umum, seringkali lokasi sandar kapal tersebut  tidak pada pelabuhan umum yang ada Syahbandar atau kapal digunakan untuk keperluan singkat dan tidak jauh. Seharusnya untuk kapal semacam ini diberlakukan sistim keselamatan yang berbeda dengan pengawasan minimum dari  Syahbandar karena sifat dari kegiatannya yang tidak memberikan  risiko pada orang banyak ataupun masyarakat umum.

Ketentuan SPB ini umumnya tidak ikuti oleh kapal kecil. Sejak dulu, jarang sekali saya lihat kapal kecil memiliki SPB apalagi kalau hanya berlayar jarak dekat. Dengan ketentuan pidana yang berlaku umum itu, maka seperti kabar tentang nakhoda yang ditahan , urusan SPB hanya akan jadi obyekan petugas. Karena dengan ancaman hukum yang lima tahun, maka polisi memiliki kewenangan untuk menahan. Nah sudah jadi rahasia umum bahwa banyak oknum polisi yang senang memanfaatkan kewenangan ini untuk tujuan lain.

Oleh karena itu Menteri Perhubungan perlu segera memperbaiki ketentuan tersebut. Dalam UU Pelayaran disebutkan bahwa ketentuan mengenai SPB termasuk mengenai jenis-jenis kapal akan diatur dalam ketentuan Menteri.

Saat ini Peraturan Menteri Perhubungan No.1 tahun 2010 mengatur bahwa semua jenis kapal (termasuk kapal nelayan, jetski dan kapal-kapal dibawah 1 GT lainnya) tunduk pada ketentuan SPB.

Untuk memperbaiki masalah ini, Menteri Perhubungan perlu segera melakukan perubahan atas ketentuan tersebut dengan mengecualikan kapal kecil dibawah 7 GT dan digunakan bukan untuk angkutan umum sehingga tidak masuk dalam cakupan pasal 323 UU.

Sebelum Menhub mengubah ketentuan tersebut, maka daripada anda jadi obyekan, mintalah SPB sebelum anda berlayar.