Saturday, November 26, 2011

Penjara Minimal 5 Tahun Bagi Anda Semua Yang Berlayar Tanpa Ijin!

Kalau anda membaca blog ini pasti anda gemar atau paling tidak ingin  melaut. Kalau benar, simak tulisan ini baik-baik. Karena kemerdekaan diri anda jadi taruhan.

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar bahwa seorang yang sedang melaut dengan kapal kecil (dibawah 7GT) ditangkap Polisi Air. Dia diproses pidana karena Surat Persetujuan Berlayar yang dibawanya dikeluarkan lebih dari 24 jam sebelum berlayar.

Surat Persetujuan Berlayar (SPB) atau dikenal juga dengan Port Clearence ini adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Syahbandar setiap kapal akan keluar dari pelabuhan. Kewajiban mendapatkan SPB ini ditetapkan dalam Undang-Undang Pelayaran (UU 17 2008).

Saya yakin kita semua tidak akan memperdebatkan  mengapa SPB diperlukan bahkan diwajibkan. Kegiatan laut bukanlah kegiatan tanpa risiko. Dengan kewajiban memperoleh SPB tiap kali berlayar, Syahbandar dapat memonitor keberangkatan dan kepulangan kapal tersebut sehingga keterlambatan kepulangan dapat menjadi early warning bagi keselamatan kapal yang bersangkutan.

Dengan SPB, kelaiklautan kapal dapat selalu di pantau oleh Syahbandar apalagi apabila menyangkut kapal penumpang. Sehingga jelas terlepas dari pertanyaan  apakah Syahbandar melaksanakan tugasnya dalam memperhatikan aspek keselamatan,  keberadaan SPB penting untuk pemantauan aspek keselamatan nakhoda dan penumpang.

Nah sekarang apa konsekuensi hukum bagi orang yang berlayar tanpa SPB ini? 

UU Pelayaran yang penuh dengan sanksi pidana itu secara gebyah uyah atau indiscriminately  memberikan sanksi pidana bagi nakhoda yang berlayar tanpa SPB atau yang SPBnya sudah berumur lebih dari 24 jam dari waktu dia berlayar.

Untuk jelasnya  berikut saya kutip ketentuan pasal 323 UU Pelayaran:


"Pasal 323
  1. (1)  Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 

  2. (2)  Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). "

Jadi apakah anda Nakhoda kapal penumpang dengan 1000 penumpang atau Nakhoda ultra large crude carrier dengan GT550.000 atau Nakhoda kapal longboat dengan GT kurang dari 1, semua punya risiko pidana yang sama. Sounds fair? Menurut saya tidak. Bagaimana menurut anda?

Kita setuju bahwa ketentuan SPB penting demi keselamatan kita semua. Namun ketentuan itu harus diletakkkan dalam porsi yang pas. Untuk seluruh kapal yang digunakan untuk angkutan umum atau menyangkut keselamatan lingkungan orang banyak, jelas pelanggar persyaratan SPB ini harus dihukum cukup berat agar orang tidak menganggap enteng. Namun untuk nakhoda yang tidak mengangkut penumpang umum serta kapal berukuran kecil, jelas ini terlalu berat.

Bagi kapal kecil non-umum, seringkali lokasi sandar kapal tersebut  tidak pada pelabuhan umum yang ada Syahbandar atau kapal digunakan untuk keperluan singkat dan tidak jauh. Seharusnya untuk kapal semacam ini diberlakukan sistim keselamatan yang berbeda dengan pengawasan minimum dari  Syahbandar karena sifat dari kegiatannya yang tidak memberikan  risiko pada orang banyak ataupun masyarakat umum.

Ketentuan SPB ini umumnya tidak ikuti oleh kapal kecil. Sejak dulu, jarang sekali saya lihat kapal kecil memiliki SPB apalagi kalau hanya berlayar jarak dekat. Dengan ketentuan pidana yang berlaku umum itu, maka seperti kabar tentang nakhoda yang ditahan , urusan SPB hanya akan jadi obyekan petugas. Karena dengan ancaman hukum yang lima tahun, maka polisi memiliki kewenangan untuk menahan. Nah sudah jadi rahasia umum bahwa banyak oknum polisi yang senang memanfaatkan kewenangan ini untuk tujuan lain.

Oleh karena itu Menteri Perhubungan perlu segera memperbaiki ketentuan tersebut. Dalam UU Pelayaran disebutkan bahwa ketentuan mengenai SPB termasuk mengenai jenis-jenis kapal akan diatur dalam ketentuan Menteri.

Saat ini Peraturan Menteri Perhubungan No.1 tahun 2010 mengatur bahwa semua jenis kapal (termasuk kapal nelayan, jetski dan kapal-kapal dibawah 1 GT lainnya) tunduk pada ketentuan SPB.

Untuk memperbaiki masalah ini, Menteri Perhubungan perlu segera melakukan perubahan atas ketentuan tersebut dengan mengecualikan kapal kecil dibawah 7 GT dan digunakan bukan untuk angkutan umum sehingga tidak masuk dalam cakupan pasal 323 UU.

Sebelum Menhub mengubah ketentuan tersebut, maka daripada anda jadi obyekan, mintalah SPB sebelum anda berlayar.




3 comments:

Unknown said...

Abang saya dengan kapal gt5 ditangkap pada tanggal 16-07-2012 dengan kasus ini, tidak disangka tanpa spb ini pidana sampai kurungan. kasian kasian. ini sangat memberatkan kami sekeluarga. apa yang terjadi dengan hukum laut ini???? saya tidak bisa bicara karena saya sangat sedih

BoatIndonesia.com said...

Kapten Slamet,

Kapal boat non-komersial harus dibuatkan aturan sendiri yg memberikan kemudahan operasional dan pengawakan namun juga tetap menjamin keselamatan pelayaran.

Kalau dalihnya kelaiklautan kapal itu bisa dengan sistem uji kir berkala, tidak perlu setiap kali melaut diberikan SPB. Kalau masalah monitor utk respon keadaan darurat maka dibangun saja sistem SAR yg baik dan responsif (komunikasi, tanggap darurat, patroli, dll.) seperti di negara maritim yg sesungguhnya. Mereka tidak begitu pusing dgn SPB tapi kalau ada kejadian di laut langsung tanggap.

Perbanyak kapal boat di laut, maka akan terjadi saling mengawasi dan saling komunikasi. Mereka juga bisa jadi kepanjangan tangan pengawasan oleh pemerintah dgn cara melibatkan mereka ke dalam sistem pengawasan, keamanan, dan pertahanan. Tumbuhkan industri kapal boat, rangkul kami para pelaut kapal boat dan wisata (yacht).

Unknown said...

Biaya untuk urus SPB atau SIB (surat izin berlayar) itu berapa sih?
Saya pernah baca untuk wilayah prov DKI itu Rp 250/GT.
Tapi kog di Kalimantan Barat biasa urus SIB kapal GT di bawah 100 bisa ratusan ribu bahkan ada daerah2 yg sampai jutaan?
Dimana kita bisa mencari info soal tarif sebenarnya ya?
Terima kasih!